4 Pertimbangan Dalam Memilih Sekolah untuk Anak dengan Autisme
Menentukan sekolah yang tepat untuk anak dengan Autisme adalah tugas yang menantang bagi banyak orang tua. Setiap sekolah, baik itu sekolah inklusi maupun sekolah khusus, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Idealnya, kombinasi dari kedua jenis sekolah ini bisa menjadi pilihan terbaik. Namun, banyak faktor yang harus dipertimbangkan, terutama dalam hal kurikulum dan bagaimana hal itu berinteraksi dengan kebutuhan unik anak.
Kurikulum dan Kebutuhan Anak dengan Autisme
Kurikulum nasional di Indonesia tidak didesain khusus untuk anak dengan Autisme. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama di sekolah inklusi di mana jarak antara kurikulum yang ada dan kebutuhan anak bisa sangat besar.
Di sekolah khusus, yang seharusnya lebih terfokus pada kebutuhan anak berkebutuhan khusus, kurikulum masih sering dibuat secara klasikal, yang artinya masih berbasis kelas dan bukan individual. Padahal, anak dengan Autisme memiliki profil kemampuan yang sangat bervariasi, seperti kemampuan bahasa, matematika, dan keterampilan sosial yang mungkin tidak seimbang.
Faktor-faktor tersebut menjadikan pembelajaran yang terlalu seragam sulit untuk mengakomodasi kebutuhan individual mereka.
Pengalaman mengelompokkan anak-anak berkebutuhan khusus dalam kelompok yang lebih kecil pun menunjukkan betapa beragamnya kebutuhan mereka. Bahkan di antara anak kembar identik dengan Autisme, perbedaan dalam cara mereka belajar dan merespon kurikulum sangat signifikan.
Perbedaan tersebut membuat Individual Education Program (IEP) menjadi penting. Ia dirancang khusus untuk setiap anak, bukan berdasarkan satu ukuran yang berlaku untuk semua.
Pemahaman Guru dan Orang Tua
Salah satu tantangan besar lainnya adalah perbedaan pemahaman antara guru dan orang tua. Misalnya, ada situasi di mana seorang guru di sekolah merasa bahwa fokus utama anak harus pada pelatihan toilet sebelum dia bisa benar-benar berpartisipasi dalam aktivitas sosial di sekolah.
Sementara itu, orang tua mungkin lebih fokus pada aspek sosialisasi anak, menganggap bahwa berinteraksi dengan teman sebaya lebih penting daripada aspek toilet training.
Kedua perspektif ini valid, namun perlu ada komunikasi yang baik antara guru dan orang tua untuk mencapai pemahaman bersama tentang prioritas yang harus diambil.
Peran Shadow Teacher
Pertimbangan lain adalah apakah anak memerlukan shadow teacher atau tidak. Banyak sekolah yang enggan menerima pendamping yang disediakan oleh orang tua karena pengalaman di masa lalu, di mana pendamping justru bertindak seperti pengasuh, yang berakibat pada hilangnya kesempatan anak untuk belajar kemandirian.
Di sisi lain, pendamping yang memiliki keterampilan baik dapat sangat membantu dalam menjembatani komunikasi antara guru dan anak. Namun, ada dua tantangannya, yaitu apakah sekolah sudah siap dan apakah pendamping tersebut memiliki kemampuan yang cukup untuk mendukung anak secara efektif.
Pemicu Stres di Sekolah
Baik di sekolah inklusi maupun sekolah khusus, ada banyak faktor yang dapat menjadi pemicu stres bagi anak dengan Autisme. Beberapa di antaranya adalah masalah sensorik, transisi atau perubahan, tantangan akademik, dan situasi sosial.
Misalnya, anak-anak dengan Autisme seringkali memiliki gangguan sensorik yang membuat mereka sangat sensitif terhadap rangsangan visual, suhu ruangan, atau tekstur permukaan tempat mereka duduk. Perubahan lingkungan, seperti pindah ke ruangan baru atau berganti guru, juga dapat menjadi sumber stres yang signifikan.
Dalam aspek akademik, anak dengan Autisme mungkin bisa membaca atau menghafal angka, tetapi sering kali mengalami kesulitan dalam memahami makna di balik teks yang mereka baca atau angka yang mereka sebutkan.
Selain itu, ketika dihadapkan pada metode pengajaran yang sama dengan anak-anak tipikal, mereka mungkin merasa kesulitan untuk mengikuti. Ini karena anak-anak dengan Autisme seringkali membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam belajar.
Kesimpulan
Dalam menentukan sekolah yang ideal bagi anak dengan Autisme, penting untuk mempertimbangkan kombinasi berbagai faktor yang ada, termasuk kurikulum, peran pendamping, dan potensi pemicu stres.
Setiap keputusan harus didasarkan pada kebutuhan individual anak dan melibatkan komunikasi yang baik antara guru dan orang tua. Kombinasi pendekatan yang tepat dapat membantu anak dengan autism mencapai potensi terbaiknya dalam lingkungan belajar yang mendukung.