4 Panduan Praktis Terapi Okupasi Anak dengan Autisme di Rumah
Terapi okupasi adalah salah satu pendekatan penting dalam mendampingi anak dengan Autisme untuk mencapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. Terapi okupasi melatih kemampuan motorik dan sensorik anak agar mereka bisa melakukan banyak kegiatan.
Idealnya, terapi okupasi bisa dilakukan baik di tempat terapi maupun di rumah. Namun, karena biaya terapi okupasi mahal, orang tua jarang pergi ke tempat terapi. Akan tetapi, orang tua bisa melakukannya di rumah, dengan panduan dari ahli. Berikut empat tips praktis melakukan terapi okupasi di rumah.
Pahami urutan perkembangan anak
Ini salah satu aspek yang krusial karena dengan mengetahui perkembangan anak, kita bisa melatih langkah per langkah secara optimal. Anak berkembang melalui tahapan-tahapan yang berurutan, dimulai dari integrasi refleks primitif, motorik kasar, motorik halus, persepsi visual, kemampuan bahasa, hingga kemampuan konseptual dan akademik.
Setiap anak dengan Autisme berkembang dengan laju yang berbeda. Terapis biasanya akan melihat dari usia perkembangan, bukan usia kronologis. Kalau anak kita berusia 7 tahun, tetapi kemampuan motoriknya ada di usia 3 tahun, program terapi akan menyesuaikan dengan kondisi motoriknya.
Menurut penelitian, proporsi anak-anak dengan ASD yang berisiko mengalami gangguan motorik sangat tinggi yaitu 86,9%.[1] Oleh karena itu, jangan terburu-buru untuk langsung melatih anak dengan keterampilan kompleks. Jika anak kekuatan otot dan keseimbangannya masih lemah, fokus tingkatkan aspek fundamental tersebut.
Latihan sensorik di alam terbuka
Orang tua bisa memberikan stimulasi sensorik anak dengan melakukan aktivitas di alam. Alam menyediakan banyak hal bagi orang tua untuk meningkatkan rangsangan taktil (sentuhan), proprioseptif (posisi tubuh), vestibular (keseimbangan), hingga visual dan auditori secara alami dan menyenangkan.
Berkegiatan di alam punya banyak manfaat bagi anak. Penelitian menemukan bahwa intervensi sensori di alam mengurangi hiperaktif, mengurangi kecenderungan mudah marah atau tersinggung, mempertahankan perhatian.[2]
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan, seperti bermain air, mendaki bukit kecil, ataupun sekadar menyiram tanaman: kegiatan tersebut sudah mencakup banyak stimulasi sensorik. Tips praktisnya sebagai berikut:
- Ajak anak berjalan kaki setiap pagi selama 30-60 menit.
- Main air di kolam kecil atau bermain pasir.
- Lakukan aktivitas bertahap. Mulai dari semprot-semprot air, baru ke kolam, baru ke sungai/laut.
Melatih kekuatan otot dan motorik kasar secara bertahap
Masih banyak orang tua yang ingin buru-buru ingin anak bisa melompat, berlari, juga melempar bola. Padahal, realitanya, kondisi anak belum memungkinkan secara motorik. Orang tua pun perlu membiasakan anak untuk melakukan aktivitas fisik, supaya bisa meningkatkan fungsi motorik dan sensorik.
Oleh karena itu, secara perlahan, orang tua bisa memulai aktivitas fisik, seperti mengejar ayam, membawa barang (menarik atau mendorong) untuk penguatan otot. Beberapa kegiatan lain yang bisa dilakukan orang tua di rumah adalah sebagai berikut:
- Mulai dari aktivitas sederhana seperti jalan kaki naik turun bukit kecil.
- Lakukan permainan menarik-dorong menggunakan kursi berat.
- Gunakan ban motor sebagai alat tarik untuk latihan proprioseptif.
Gunakan aktivitas domestik untuk melatih kemandirian
Setelah kekuatan otot dan motorik halus terlatih melalui aktivitas fisik dan bepergian ke alam, orang tua bisa mulai melatih anak melakukan aktivitas domestik, seperti mencuci tangan, menutup kran, menyiapkan makanan, atau membersihkan rumah. Intervensi melalui kegiatan domestik meningkatkan kecepatan reaksi rata-rata, memori kerja dan metakognisi serta area motorik dari kekuatan dan kelincahan.
Anak-anak yang diajak memasak, menyiapkan makanan, atau membantu membersihkan rumah memiliki kesempatan lebih besar untuk mandiri. Ada dua tips praktis yang bisa orang tua lakukan:
- Latih anak menggunakan peralatan sederhana seperti membuka-tutup botol, meruncing pensil, hingga mencuci sayur.
- Buat kegiatan menyenangkan dan lakukan secara konsisten.
Perhatikan regulasi emosi dan hindari trauma
Terapi okupasi di rumah juga mencakup pelatihan regulasi emosi yang sangat penting agar anak bisa tenang, tidak mudah frustrasi, dan mampu menyampaikan keinginannya secara tepat.
Hal penting lainnya adalah memastikan tidak ada trauma emosional, baik dari cara bicara orang tua yang keras, lingkungan yang menekan, maupun aktivitas yang terlalu sulit. Beberapa tips praktis ini bisa membantu orang tua untuk pendekatan kepada anak:
- Berkomunikasi dengan suara lembut dan mendekati anak secara fisik saat memanggilnya.
- Hindari kata-kata seperti “jangan” dan “tidak”. Gantilah dengan ajakan positif seperti “adik main di sini yuk” daripada “jangan lari-lari.”
- Catat dan evaluasi penyebab tantrum: apakah karena lapar, lelah, bosan, atau sakit?
Orang tua tidak perlu merasa tertekan harus menjadi “terapis profesional.” Yang terpenting adalah konsistensi, kesabaran, dan pendekatan yang terstruktur. Terapi okupasi di rumah bisa menjadi sangat efektif jika dilakukan secara rutin, bertahap, dan menyenangkan. Mari dampingi anak-anak kita dengan penuh kasih, karena kebaikan yang kita tanam hari ini akan menjadi hasil luar biasa di masa depan.
[1] Bhat, A. N. (2019). Is motor impairment in autism spectrum disorder distinct from developmental coordination disorder? a report from the SPARK study. Physical Therapy, 100(4), 633–644. https://doi.org/10.1093/ptj/pzz190
[2] Fan, M. S. N., Li, W. H. C., Ho, L. L. K., Phiri, L., & Choi, K. C. (2023). Nature-Based Interventions for Autistic children. JAMA Network Open, 6(12), e2346715. https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2023.46715