Perjalanan Menuju Kemandirian Anak Dengan Autisme
Anak saya, Ananda, merupakan dewasa dengan Autisme. Ananda telah menunjukkan tanda-tanda Autisme di usia 12 bulan. Ananda menunjukkan bubbling, menginginkan sesuatu hanya dengan menunjuk, hiperaktif, sering membuka lemari es, berjalan mondar-mandir, dan masih non verbal di atas usia dua tahun.
Kondisi ini membuat saya mencari tahu tentang kondisinya. Pada waktu itu, referensi tentang perkembangan anak dengan Autisme sangat sedikit. Di tengah kesulitan mencari referensi, pimpinan di tempat kerja saya, yaitu Ibu Susi, mengenalkan saya dengan Yayasan Autisma Indonesia dan Dr. Melly Anandaman. Setelah itu, saya melakukan diagnosa kepada anak di usia 18 bulan.
Pada usia dua tahun, saya mulai menerapkan terapi kepada Ananda. Andan melakukan terapi perilaku bersama Pak Wardi dan tim terapis. Selain itu, selama dua minggu, Ananda juga melakukan terapi pelatihan auditori terintegrasi dan terapi biomedis. Terapi biomedis ini dilakukan untuk mengetahui hambatan metabolisme tubuh dan mengurangi racun merkuri dalam tubuh.
Perjalanan Pendidikan Ananda
Setelah melakukan beragam terapi, saya mulai menyekolahkan Ananda. Saya menyekolahkan Ananda ke Taman Kanak-Kanak (TK) Mutiara Indonesia. Guru di TK Mutiara Indonesia ini punya latar belakang psikolog, yang membuat mereka memahami kondisi Ananda.
Selesai melalui pendidikan TK, saya kemudian menyekolahkan Ananda ke Sekolah Dasar (SD) Inklusi Cikal. Di sekolah ini, pengajarannya dilakukan dengan dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Seperti di TK Mutiara Indonesia, guru bahkan orang tua banyak yang berlatar belakang psikolog. Latar belakang ini sangat membantu menciptakan lingkungan mengajar yang baik. Saat bersekolah, Ananda diajarkan untuk lebih berani, tidak malu, dan membentuk kemandirian.
Kemudian, lulus dari SD, Ananda pun melanjutkannya ke jenjang SMP dan SMA. Di jenjang SMP dan SMA, Ananda bersekolah di Cita Buana tanpa ada shadow teacher. Memang ada beberapa pelajaran yang tertinggal. Tetapi, karena dukungan lingkungan yang positif, Ananda mampu menyelesaikan jenjang SMP dan SMA.
Lulus dari SMA, Ananda berkuliah di Universitas Binus. Selama tiga tahun berkuliah di Binus, Ananda menjadi pemandu. Sebagai pemandu, Ananda membantu teman mahasiswanya dari luar negeri, mulai dari penjemputan dari bandara, memberikan informasi seputar transportasi, tempat umum, dan juga info kontak penting yang bisa dihubungi.
Sejak lulus dari Binus, saat ini Ananda bekerja di perusahaan startup digital graphic service.
Tantangan yang Dihadapi Ananda
Selama proses Ananda mengenyam pendidikan dan mengembangkan kemandirian, ada berbagai tantangan yang menyertainya. Yang paling saya ingat adalah ketika Ananda harus mengalami perundungan verbal oleh tetangga. Perundungan tersebut membuat Ananda jadi trauma, bahkan tidak mau pulang.
Tidak hanya di lingkungan rumah, Ananda juga mengalami perundungan di sekolah. Waktu itu, teman sekelas Ananda melempar penghapus dan kertas coret-coretan kepada Ananda. Mengetahui perundungan itu, sekolah langsung bertindak. Sekolah memutuskan mengeluarkan anak yang merundung Ananda.
Selain perundungan, tantangan lainnya datang dari diri saya dan keluarga, terutama dari sisi finansial. Pertimbangan finansial yang kami buat mendahulukan kepentingan anak. Sedangkan, kebutuhan yang sifatnya pribadi harus dikesampingkan agar ekonomi tetap berjalan dengan baik.
Agar ekonomi tetap berjalan dengan baik, mau tidak mau, orang tua harus bekerja. Terlebih, terapi dan perintilan lainnya memerlukan biaya yang cukup besar. Karena kondisi orang tua yang bekerja, ada pembagian waktu yang sangat disiplin bagi para orangtua, antara pendampingan anak dan pekerjaan.
Pelajaran dan Inspirasi
Tantangan yang kami alami tentu tidak membuat kami patah arang. Kami harus yakin bahwa anak akan dapat membaik, dengan cara upaya, doa dan ikhtiar. Usaha yang maksimal, mulai dari tenaga hingga finansial yang baik.
Penanganan tumbuh kembang anak tidak harus mahal untuk mendapatkan bantuan profesional. Para orangtua dapat belajar menjadi terapis dan menggunakan alat peraga yang bisa dibuat sendiri untuk mempermudah anak belajar/melakukan kegiatan terapi.
Saya yakin, keberhasilan anak dimulai dari keluarga yang kompak dan sepakat. Jangan menyerahkan sebagian besar pendampingan pada orang lain. Saya sangat tidak setuju terhadap orang tua yang menempatkan anak di asrama, di mana orangtua tidak mengetahui apa saja yang dilakukan terhadap anak.
Peran orangtua yang paling utama adalah menjalin ikatan emosional dengan anak. Ikatan tersebut tidak bisa digantikan oleh siapapun.
Penulis adalah Ibu dari Ananda, seorang dewasa dengan Autisme yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan startup.