• 0813-8074-1898
  • yayasanmpati@gmail.com
  • Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Dukungan
Pada Akhirnya, Kakak pun Akan Menyayangi Adik Penyandang Autisme

Pada Akhirnya, Kakak pun Akan Menyayangi Adik Penyandang Autisme

Beberapa tahun lalu, saat anak-anak masih kecil, saya khawatir bagaimana kalau nanti kakak-kakaknya Umar tidak bisa menerima adiknya yang spesial. Bagaimana nanti kalau mereka malu atau bahkan tidak mau mengakui adiknya yang “aneh”. Sekadar informasi, Umar memiliki tiga orang kakak, dua perempuan dan satu laki-laki. Serta satu adik perempuan.

Kekhawatiran itu membuat saya selalu berusaha mengenalkan siapa dan bagaimana Umar sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Apa saja yang harus dikerjakan untuk membantunya. Saya juga selalu mengajak semua anak saya, dalam kegiatan yang berkaitan dengan dunia Umar.

Terlalu Fokus Pada Umar

Sampai akhirnya saya bertekad punya tempat belajar sendiri buat Umar, yang dalam perjalanannya cukup menyita banyak waktu dan “pengorbanan” lain. Kala itu, saya menyebutnya “pengorbanan” karena kenyataannya saya memang terpaksa mendahulukan kepentingan Umar di atas kepentingan yang lain, termasuk keempat saudara Umar.

Anak-anak saya yang lain sempat “protes” dalam bentuk masalah yang muncul di hadapan mereka. Ataupun secara langsung mereka katakan kenapa Uminya melakukan ini semua untuk Umar. Apa-apa Umar. Andaikan mereka tahu bahwa saya sangat sedih.

Waktu itu saya tidak bisa menjawabnya. Anak-anak saya benar. Saya mengakui bahwa saya diliputi ketakutan yang luar biasa akan masa depan Umar. Ketakutan bahwa Umar akan menjadi beban bagi saudaranya kalau saya tidak memperjuangkannya sejak dini.

Saya hanya bisa memeluk sambil berkata “Umi sayang kalian semua…”, ketika mereka merasa saya memberikan beban, dan tanggung jawab yang belum saatnya mereka emban.

Mungkin saya sering mengabaikan anak-anak saya yang lain, karena kesibukan mengurus Umar dan sekolah ABK yang saya bangun. Padahal, semua anak saya membutuhkan perhatian saya.

Apakah Masih Ada?

Apakah sekarang pikiran-pikiran saya itu masih ada? Masih ada, tetapi sudah tidak semenakutkan dulu.

Sekarang saya lebih pasrah. Apapun yang terjadi nanti, saya percaya Allah punya rencana yang lebih baik. Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya. Tinggal saya yakin atau tidak, mau atau tidak.

Sekarang, ketika saya sudah tidak lagi semuda seperti beberapa tahun lalu, saya lebih santai menjalani hidup dan ingin mensyukuri hari demi hari yang bisa saya lewati dengan baik.

Masa depan yang baik dan impian tentang kehidupan anak-anak saya yang lebih baik, tentu menjadi tujuan utama. Tetapi dari pengalaman yang saya lalui, ternyata saya tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri. Saya perlu lebih banyak berserah diri dan minta petunjuk jalan sebelum melangkah dan memutuskan sesuatu.

Saat ini, ketika anak-anak saya mulai tumbuh dewasa, kekhawatiran saya perlahan mulai reda. Mereka mengerti akan keberadaan adiknya, mulai memahami mengapa saya melakukan banyak hal untuk membantu Umar dan teman-teman spesial lainnya.

Sampai kemudian kakak-kakaknya Umar bersedia membantu saya. Mereka melibatkan diri dalam pengasuhan dan pendampingan adiknya. Mengambil peran dan tugas yang selama ini saya lakukan.

Sampai suatu malam hingga dini hari, saya sempat mengambil foto ini pada satu kejadian ketika Umar sakit. Malam itu di tengah kepanikan saya, kakaknya Umar dengan sigap dan tenang mengurus semua hal. Mereka menangani pemesanan taksi untuk berangkat ke rumah sakit sampai menjaga adiknya sepanjang malam hingga pagi di ruang IGD.

Karena lamanya prosedur COVID-19 yang mengharuskan Umar menjalani serangkaian tes sebelum bisa masuk kamar perawatan, kakaknya Umar menyentuh bahu saya dan mengatakan, “Umi duduk saja di kursi ruang tunggu. Di sana bisa senderan. Biar aku yang jaga Umar disini,” kata anak keduaku.

Kekuatan untuk Mencintai

Malam itu saya memetik hikmah. Anak-anak dibekali naluri kasih sayang secara alami terhadap saudara mereka. Kalau saja saya lebih tenang dalam mendidik anak-anak saya dulu, mungkin anak-anak saya punya mental yang lebih baik dan lebih bijaksana.

Kesalahan saya dalam mendidik adalah saya mendidik anak-anak saya dengan atmosfir ketakutan, kesedihan, dan kekhawatiran. Padahal akan jauh lebih bermakna jika dalam keseharian, saya membawa kebahagian, kesenangan, dan optimisme. Sehingga mental anak-anak saya terbangun untuk selalu berpikir positif dalam situasi apapun.

Mungkin, perjalanan saya ini bisa dijadikan pelajaran untuk orang tua spesial di mana pun mereka berada. Kita bisa memperbanyak kegembiraan. Kita bisa menanamkan pola pikir bahwa saudaranya yang spesial adalah sumber kebahagian.

Saudaranya yang spesial bukanlah beban yang harus ditimbang “berat” nya jika nanti hidup bersama. Tanamkan kepercayaan bahwa, akan ada banyak jalan yang terbentang ketika kita semua lebih paham kekuatan masing-masing.

Berikan gambaran besar bahwa masa depan akan baik-baik saja selama kita saling membantu. Sekalipun kita punya saudara berkebutuhan khusus.

Setiap langkah harus dilalui dengan kebahagian. Kita harus selalu percaya bahwa kita pasti dikuatkan. Fokus pada kondisi baik, meskipun mungkin harus sendiri menjalani dan mengambil keputusan-keputusan.

Farida Lucky Utami, ibu tunggal dari lima orang anak dan salah satunya dengan Autisme. Namanya Umar. Usianya saat ini 18 tahun.

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *