• 0813-8074-1898
  • yayasanmpati@gmail.com
  • Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Dukungan
Cara Meningkatkan Kemampuan Bicara Anak dengan Autisme dan Speech Delay

Cara Meningkatkan Kemampuan Bicara Anak dengan Autisme dan Speech Delay

Pada 11 Maret 2023, MPATI melaksanakan webinar yang berjudul Cara Meningkatkan Kemampuan Bicara Anak dengan Autisme dan Speech Delay. Dalam webinar ini, Speech Pathologist, Ibu Sheila Hadikoesoemo dan orang tua dari Shinta I’m Star, Ibu Anita Y. Pratomo membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka.

Daftar Isi

Perjalanan Shinta

Ibu Anita membagikan cerita bagaimana ia berjuang merawat dan membesarkan Shinta. Ibu Anita bercerita bahwa pada saat Shinta umur satu tahun, Shinta belum ada kemampuan berbicara dan tidak ada kontak mata. Kemudian, baru pada umur dua tahun, semua sepakat bahwa Shinta terlambat perkembangannya.

Melihat hal itu, Ibu Anita membawa Shinta untuk melakukan terapi okupasi dan wicara. Setelah dianalisis oleh terapi wicara, Shinta mengalami masalah persepsi. Kendala Shinta bukan di masalah verbal, tetapi predikatnya. Contohnya pada saat ditunjukkan gambar piring, Shinta bilang makan; saat ditunjukkan gelas, dia bilang minum. Berangkat dari situ, Shinta melakukan banyak terapi.

Shinta juga punya masalah, yang mana dia masih belum bisa mengeluarkan lidah dari bibir. Hal tersebut membuat salivanya terkumpul (ngeces). Waktu itu, dokter tumbuh kembang anak menyarankan Ibu Anita agar Shinta dioperasi saraf lidahnya. Mempertimbangkan banyak hal, Ibu Anita kemudian memutuskan untuk tidak kembali ke dokter tumbuh kembang anak dan melakukan terapi sendiri.

Saat Shinta berumur enam tahun, Shinta memiliki adik. Dan adiknya kemudian menjadi ‘terapis’ bagi Shinta. Shinta pun justru menirukan adiknya. Dia juga mulai berinteraksi dengan adiknya. Ibu Anita bercerita bahwa adiknya Shinta akan menggigit kakaknya jika tidak menjawab panggilan.

Perbedaan Autisme dan Speech Delay

Sementara itu, Ibu Sheila Hadikoesoemo, Speech Pathologist, menjelaskan perbedaan antara speech disorder dengan speech delay. Ibu Sheila mengatakan bahwa terminologi speech delay adalah kategori awam, karena semua gangguan komunikasi (bicaranya tidak jelas, kata-katanya kurang banyak) masuknya ke speech delay.

Dia lalu menjelaskan lebih lanjut dari sudut pandang klinis. Dalam dunia klinis, klasifikasinya sebagai berikut:

  1. Speech Sound Disorder: gangguan yang khusus mempengaruhi kemampuan bicara seorang anak. Misalnya belum bisa menggerakkan mulut atau bibirnya untuk mengeluarkan suara tertentu.
  2. Language Disorder: Kesulitan memproses stimulus yang masuk. Misalnya ketika diberikan pertanyaan, anak belum bisa menjawab. Atau ketika diberikan instruksi, anak belum paham instruksi yang diberikan.

Language Disorder bisa terjadi dalam masa perkembangan tanpa ada sindrom yang mengikuti (Developmental Language Disorder) dan juga ada yang diikuti oleh kondisi medis tertentu. Anak dengan Autisme masuknya ke dalam kategori Language Disorder dengan kondisi medis tertentu. Tetapi, ada anak dengan Autisme yang bisa mengalami Speech Sound Disorder.

Ibu Sheila menekankan bahwa speech delay belum bisa masuk ke dalam kategori disorder jika kita baru tahu gejalanya delay dan kondisi-kondisi lainnya. Anak yang delay akan bisa menyusul perkembangan anak tipikal. Sedangkan disorder tetap akan berkembang, tetapi ada area yang tidak berkembang dengan kecepatan yang sama dengan anak tipikal.

Namun, Ibu Sheila menegaskan bahwa tidak semua anak dengan autisme memiliki speech delay, karena setiap anak punya kondisi yang berbeda. Sheila juga memberitahu jika definisi autisme yang baru membagi menjadi tiga level: autisme level 1, level 2, dan level 3.

Anak yang mengalami Autisme disorder juga ada keterangan tambahan: with or without language impairment. Ada anak yang tidak punya masalah dalam perkembangan bahasa. Kesulitannya ada di komunikasi dan interaksi sosial serta perialku repetitif.

Cara menstimulasi komunikasi

Kemudian, Ibu Sheila dan Ibu Anita membagikan tips untuk menstimulasi komunikasi pada anak. Ibu Sheila mengatakan ada tiga hal yang bisa menstimulasi komunikasi anak, yaitu:

  1. Kenali anak-anak kita, mulai dari cara dia berproses hingga minat dan bakatnya. Bagaimanapun, orang tua yang paling mengenal anaknya dan menjadi support system utama yang menentukan perkembangan anak.
  2. Pilih aktivitas di mana komunikasi pasti akan terjadi.
  3. Buat seluruh situasi menjadi terapi.

Dari sudut pandang Ibu Anita, ada tiga cara untuk menstimulasi komunikasi Shinta, yaitu:

  • Mengekplorasi bakat Shinta

Ketika Shinta punya bakat di bidang musik, semua terapi difokuskan ke musik. Pada usia lima tahun, Shinta mendapatkan hadiah ulang tahun berupa piano plastik, karena dia selalu memainkan bel rumah orang dan tetangga. Dari dua hal itu, Shinta berubah sikapnya: dari yang sering bergerak jadi diam untuk memainkan bel dan piano. Dia bisa menirukan tujuh lagu persis. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membawa Shinta ke tempat les yang mengakomodir anak berkebutuhan khusus.

  • Menggunakan bahasa yang Shinta pahami

Misalnya, ada istilah legato dan staccato. Selama dua bulan, Shinta belum bisa memahami. Ibu Anita kemudian berusaha menjelaskan ke bahasa sederhana yang Shinta pahami. Selain itu, ketika nada bicara Shinta tinggi, Ibu Anita menggunakan bahasa musik. Misalnya, “Shinta, suara kamu terlalu tinggi, turunkan oktafnya.”

  • Mengkombinasikan komunikasi verbal dan non verbal

Dari pengalaman Bu Anita, Shinta tertarik dengan buku telepon yang besar. Ke mana-mana dia bawa dan dia bertanya nama jalan. Dari situ, komunikasi terjalin. Kemudian pada saat SD, Bu Anita mulai menghafal nama teman-teman Shinta. Kemudian, sepulang sekolah, Bu Anita selalu menanyakan Shinta. Pada saat SMA, Shinta dibawakan handphone untuk berkomunikasi. Ternyata dengan komunikasi tertulis, dia lebih tenang secara mental. Jadi, komunikasi yang dilakukan Ibu Anita ke Shinta melalui musik, verbal, dan non-verbal (tulisan).

Terakhir, Ibu Anita berpesan bahwa orang tua perlu membantu anaknya dalam memilah mana yang baik atau tidak. Kita juga perlu menghargai setiap progresnya, karena perubahan sekecil apapun tidak mudah. Itu bonding dasar orang tua dan anak.***

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *