• 0813-8074-1898
  • yayasanmpati@gmail.com
  • Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Diagnosa
Apakah Anak Terlahir Autis adalah Kesalahan Orang Tua?

Apakah Anak Terlahir Autis adalah Kesalahan Orang Tua?

 “Tidak ada satupun Ibu di dunia ini, yang ingin anaknya mendapatkan diagnosa Autis.
Demikian juga, tidak ada seorang pun anak yang minta dilahirkan sebagai penyandang Autisme.”
Gayatri Pamoedji (Buku 200 Tanya Jawab seputar Autisme)

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Dan anak autis, tidak semata-mata diamanahkan kepada sebuah keluarga, karena kesalahan orang tuanya.

Seringkali orang tua, terutama Ibu, kerap menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi dan menimpa pada anak-anaknya. Terlebih lagi saat anaknya mendapat diagnosa autis dari dokter atau ahli. Dunia rasanya mau runtuh, seolah menambah beban masalah sehari-hari menjadi terasa berat dan panjang untuk dilalui.

Kenyataannya diagnosa autis bisa terjadi kepada keturunan siapa saja, dari berbagai latar belakang budaya dan strata sosial. Dari berbagai kondisi ekonomi dan pendidikan. 

Adalah hal wajar jika orang tua menyalahkan diri sendiri atas kondisi atau keterlambatan tumbuh kembang yang dialami oleh anaknya. Dan sebenarnya itu adalah respon dan reaksi yang wajar dari manusia, terutama orangtua dari anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana diungkapkan oleh Elizabeth Kubler Ross dalam bukunya,
“In Death and Dying”

Ia mengatakan bahwa manusia memiliki reaksi tertentu dalam menghadapi cobaan hidup. Dan reaksi tersebut dibagi menjadi 5 tahapan :

  • DENIAL (Menolak Menerima Kenyataan)

Biasanya ditandai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa. Perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. 
Bingung atas artinya diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan sekaligus, bingung kenapa ini harus terjadi pada anak mereka? Bingung salahnya dimana? Penyebabnya apa? Dan lain sebagainya?
Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka. Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. 
Seringkali terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut benar-benar terjadi pada keluarga mereka. Keadaan pun menjadi bertambah runyam, jika orang tua / keluarga dengan anak autis mengalami tekanan sosial dari lingkungan. Bahwa keturunan mereka ‘berbeda’ dan ‘tidak sempurna’ Kadangkala keluarga besar pun butuh waktu untuk memproses dan mau mengakui hal ini.

  • ANGER (Marah)

Seringnya saat sedang dalam fase ini, biasanya dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa kepada dokter yang memberi diagnosa. Bisa juga kepada diri sendiri atau kepada pasangan hidup. Bisa juga muncul dalam bentuk menolak untuk mengasuh anak tersebut. Pernyataan yang sering timbul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk, “Tidak adil rasanya. Mengapa kami yang mengalami ini?” atau “Apa sebenarnya salah kami?”

  • BARGAINING (Menawar)

Pada tahap ini orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti : “mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya.”

  • DEPRESSION (Depresi)

Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi juga dapat menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak Ibu yang khawatir apakah penyebab anak Autis karena kelalaian semasa hamil, atau akibat dari dosa di masa lalu. Dari pihak Ayah pun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna.Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama soal warisan pengasuhan jikalau orang tua meninggal lebih dahulu. Harapan atas masa depan anak menjadi keruh dan muncul pertanyaan, “Akankah anak kami mampu hidup mandiri, dan berguna bagi orang lain?” Pada tahap depresi orang tua cenderung murung, menarik diri dari lingkungan sosial, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.

  • ACCEPTANCE (Pasrah Menerima Kenyataan)

Pada tahap ini, orang tua sudah menerima kenyataan baik secara emosi maupun intelektual. Sambil mengupayakan ‘terapi, penyembuhan, intervensi’. Orang tua mengubah persepsi dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka.

Apakah jika orang tua sudah melewati tahapan kelima bisa balik lagi ke tahapan sebelumnya atau memulai dari tahapan pertama? Tentu saja bisa.

Emosi manusia itu kompleks. Jika dirasa membutuhkan bantuan, konsultasikan ke ahlinya. Psikolog ataupun psikiater untuk mendapatkan bantuan konseling. 

Jika membutuhkan dukungan yang kuat silahkan follow instagram https://www.instagram.com/yayasanmpati/ untuk dapat bergabung dalam Cerita Keluarga MPATI.

Untuk mendapatkan buku 200 TJ seputar Autisme dapat menghubungi nomor 0813-8074-1898 (mala)** (dyk)

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *