• 0813-8074-1898
  • yayasanmpati@gmail.com
  • Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Support
3 Kunci Kesuksesan Ibu Sarce dalam Mendidik Anak dengan Autisme

3 Kunci Kesuksesan Ibu Sarce dalam Mendidik Anak dengan Autisme

Anak saya, Vilandri Ramadhani (Ajeng) terdiagnosa Autisme pada umur 1 tahun 8 bulan. Saat mengetahui ia terdiagnosa Autisme, saya langsung berkonsultasi dengan ahli. Sejak saat itulah, perjuangan saya dalam membesarkan Ajeng dimulai.

Table of Contents

Pendidikan ala Anak dengan Autisme

Ajeng memulai pendidikan dari taman kanak-kanak (TK). Prosesnya memang panjang, tetapi saya melihat progresnya yang signifikan. TK tahun pertama, dia hanya ingin bermain di sekolah. Masuk tahun kedua, dia mau mulai masuk kelas, berbaris, berdoa, makan bersama, dan menyanyi bersama.

Di tahun ketiga, mulai ada perkembangan yang lebih signifikan. Dia sudah bisa menjawab apa yang diucapkan guru. Di tahun keempat, Ajeng sudah bisa mengaji dengan baik. Di tahun kelima, Ajeng sudah bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Di tahun keenam, dia sudah fasih berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris dengan gayanya sendiri.

Memasuki sekolah dasar (SD), saya harus terpisah dengan Ajeng karena sekolah tidak mengizinkan saya mendampingi penuh Ajeng dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore. Saya terpaksa menunggu di luar dan hanya mengantar dan menjemput Ajeng.

Kemudian, pihak sekolah menjelaskan kepada saya bahwa Ajeng tidak ada kendala dalam belajar. Dia sangat nyaman. Begitu juga dengan teman-temannya. Ajeng sudah semakin banyak berbicara, meskipun masih terburu-buru.

Namun demikian, saat memasuki kelas lima SD, Ajeng tiba-tiba tidak berminat ke sekolah. Setelah saya konsultasi ke terapis tentang permasalahan ini, terapis mengatakan bahwa Ajeng tidak perlu dipaksa untuk ke sekolah.

Agar Ajeng tetap beraktivitas, saya kasih dia kegiatan di luar rumah: les mengaji, melukis, vokal, keyboard, matematika, bahasa Inggris. Ajeng tetap melakukan terapi. Ajeng senang karena bertemu dengan orang-orang baru. Lambat laun, keinginan Ajeng untuk kembali ke sekolah muncul.

Kemudian, memasuki sekolah menengah pertama (SMP), Ajeng melaluinya dengan baik dan lancar. Ajeng juga mendapatkan tujuh orang teman sesama Autis. Ajeng mendapatkan nilai yang memuaskan sampai dia lulus SMP.

Setelah lulus SMP, Ajeng diterima di salah satu sekolah menengah atas (SMA) Islam di daerah Depok. Di sekolah tersebut, ada tiga anak penyandang Autisme, termasuk Ajeng. Selama Ajeng masuk sekolah umum Islam, pihak sekolah menerima keadaan Ajeng, sehingga sangat menolong kemajuan dan kemandirian pribadi Ajeng.

Di SMA, bakat Ajeng terlihat. Dia punya bakat dengan komputer. Dia bisa mengedit design denah rumah, taman, gedung, dan landscape. Saat kelulusan SMA kami tawarkan Ajeng mau kuliah,dia bilang cape belajar.

Kolaborasi Jadi Kunci Sukses

Setelah saya membersamai pendidikan Ajeng, saya sadar bahwa kunci keberhasilan pendidikan Ajeng adalah kolaborasi antara guru, terapis, dan orang tua. Di sekolah dasar, pihak sekolah memberikan semacam buku penghubung. Isi buku penghubungnya adalah kegiatan – kegiatan yang Ajeng lakukan selama di sekolah.

Buku penghubung ini membantu saya saat melakukan terapi di hari Sabtu dan Minggu. Walaupun hanya dua hari bertemu dengan terapis, itu sudah sangat membantu saya untuk mendidik Ajeng. Saya pun juga intens melakukan komunikasi antara guru dan terapis.

Saya beruntung mendapatkan terapis dan sekolah yang mendukung kemajuan Ajeng. Guru-guru di sekolahnya menerima kondisi Ajeng. Terapis pun membantu saya dan Ajeng dengan segenap kemampuannya.

Kunci kolaborasinya adalah komunikasi yang tidak terputus. Apapun kemajuan Ajeng, saya komunikasikan dengan terapis. Saya juga konsultasi dengan guru soal perkembangan Ajeng. Saya yakin, selama kita berkomunikasi dengan para pendidik dan terapis, mendidik anak dengan Autisme akan lebih mudah.

Lingkungan yang Mendukung

Lingkungan yang mendukung juga jadi faktor yang membuat Ajeng berkembang. Menciptakan lingkungan yang mendukung ini tidaklah mudah. Semua perlu proses. Saya mengikutsertakan orang – orang terdekat, baik itu keluarga inti, saudara sepupu, serta tetangga untuk berinteraksi dengan Ajeng.

Memang, ada sebagian yang kurang mengerti tentang Autisme. Akan tetapi, perlahan, mereka mengerti setelah saya jelaskan dan dengan melihat langsung kemajuan Ajeng.

Saya pun berusaha untuk menjaga silaturahmi dengan banyak orang. Dari silaturahmi itu, semua bisa melihat kemajuan Ajeng. Semua bangga akan usaha yang kami lakukan. Ajeng bisa berinteraksi meskipun hanya bisa mengucapkan kalimat singkat. Minimal dia bisa berkomunikasi dan melakukan kontak mata dengan lawan bicara.

Tidak hanya di lingkungan keluarga, saya beruntung mendapat lingkungan yang suportif selama Ajeng mengenyam pendidikan. Ketika Ajeng masuk ke komunitas UMKM ABK, Ajeng banyak dapat pelatihan membuat kue, sushi, aneka rolade, melukis, dan membuat kerajinan tangan. Dari pelatihan itu, kreativitas Ajeng semakin meningkat dan Ajeng semakin termotivasi. Ajeng bisa mempraktikkan hasil pelatihannya. Ada juga yang memesan karya-karya Ajeng.

Bersabar dan Terus Belajar

Bagi saya, yang paling penting adalah sabar: Sabar dengan prosesnya dan sabar menghadapi tantangannya. Apalagi, semakin dewasa seorang anak dengan Autisme, semakin dibutuhkan kesabaran dalam menghadapinya.

Sebagai orang tua, wajar kalau saya merasa lelah. Itu adalah fase yang harus saya lalui. Saya juga tidak lelah untuk belajar, membuka diri, dan berbagi informasi dengan orang tua yang memiliki anak dengan Autisme. Itu sangat membantu dan bermanfaat dalam membesarkan Ajeng.

Keinginan setiap orang tua adalah melihat anaknya berkembang. Tetapi, kita perlu ingat kalau setiap anak berbeda, sehingga kita harus fokus dengan apa yang bisa dilakukan. Kita harus merayakan sekecil apapun kemajuan anak kita. Tetap bersabar dan berdoa, serta yang terpenting adalah jangan pernah menyerah dalam menghadapi anak autis ini.

Ada banyak cara untuk berkomunikasi dengan Ajeng: Menatapnya, memegang tangannya, memperhatikan nada suara dan gerak tubuh saat bersamanya. Hal-hal itu menandakan adanya komunikasi antara orang tua dan anak. Anak juga akan berkomunikasi dengan orang tua dengan cara yang sama.

Sampai saat ini, saya bersyukur Ajeng sudah mempunyai kemandirian serta sudah ada rasa bertanggung jawab apa yang dilakukan. Ajeng juga sudah bisa bermain bersama saudara – saudaranya tanpa kehadiran saya. Ajeng pun akan bercerita panjang lebar dengan bahagia setelah bermain bersama saudara – saudaranya.

 

Penulis adalah Ibu Sarce Wilda Solviana, Ibu dari Ajeng, dewasa dengan Autisme berusia 28 tahun.

0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *